Rabu, 02 Mei 2012

Naikan Harga BBM Ditentang, Pengendalian Pun Sulit
PERTAMINA
HEADLINE NEWS - Pemerintah masih belum memutuskan suatu kebijakan untuk mengendalikan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dipatok di APBN-Perubahan 2012 sebesar 40 juta kilo liter hingga kini. Pengendalian wajib dilakukan setelah kemungkinan untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi harus mengacu pada persyaratan yang tertera di APBN-P 2012.
Harga BBM bersubsidi bisa disesuaikan jika realisasi harga minyak mentah Indonesia (ICP) lebih dari 15 persen dari asumsi sebesar 105 dollar AS per barrel selama kurun waktu 6 bulan terakhir. Setelah itu muncullah rencana pengendalian konsumsi BBM bersubsidi. Tadinya, Pemerintah berencana melakukan itu pada 1 Mei 2012. Akhirnya mundur dan ditargetkan pertengahan Mei, pembahasan pengendalian bisa rampung.
Kebijakan pengendalian yang sudah tampak jelas adalah pengendalian konsumsi BBM bersubsidi untuk kendaraan dinas Pemerintah termasuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah). Ini memang mudah dilakukan karena tentunya Pemerintah sudah punya catatan jelas mengenai jumlah kendaraan. Dan, bisa juga terlihat dari warna plat atau kode platnya.
"Kita yang pertama pasti memutuskan semua kendaraan Pemerintah, BUMN, BUMD, tidak lagi menggunakan bahan bakar bersubsidi. Dengan anggaran yang sama ia harus menggunakan pertamax. Artinya harus ada penghematan," sebut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, di Kantor Menko Perekonomian, Selasa (1/5/2012) sore.
Tapi, bagaimana nasib mobil pribadi? Belum jelas. Pemerintah sempat berwacana untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi menurut kapasitas mesin (cc). Wacana ini pun menimbulkan kontroversi baik dari Pemerintah sendiri dan pengamat.
Sempat ada wacana Pemerintah akan membatasi konsumsi BBM bersubsidi dengan menyebutkan mobil ber-plat hitam di atas 1.500 cc tidak lagi boleh mengonsumsi BBM bersubsidi. Hal ini muncul setelah melihat konversi ke bahan bakar gas tidak mungkin dilakukan dalam waktu cepat. Sempat pula beredar bahwa mekanisme untuk membedakan mobil itu dengan cara memasang stiker.
Hal tersebut ditentang oleh anggota DPR RI Komisi VII, Satya Widya Yudha. Stiker, kata dia, tidak bisa mengontrol volume konsumsi BBM bersubsidi. Mekanisme tersebut juga tidak bisa mengantisipasi terjadinya kebocoran volume BBM bersubsidi. Stiker bisa digandakan. Konsumen pun bisa dengan mudah memodifikasi tanki BBM kendaraan pribadinya. "Sistem stiker itu harus ditinggalkan. Itu akan menimbulkan konflik horizontal," tegas Satya .
Pengamat energi, Pri Agung Rakhmanto, juga berpendapat stiker mudah dipalsukan. "Stiker gampang dipalsukan," sebut Pri, Senin (23/4/2012). Lucunya, belakangan ini, Pemerintah pun menilai pengendalian dengan kapasitas mesin ini sulit dilakukan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, menyatakan pengaturan pengendalian konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk kendaraan pribadi berdasarkan kapasitas mesin (cc) sulit untuk dilakukan. Pemerintah belum bersepakat mengenai hal itu. "Yang belum yaitu urusan cc," sebut Jero, di Jakarta, Kamis (26/4/2012).
Ia mengatakan, untuk kapasitas mesin (cc) mudah dalam membuat peraturannya tapi sulit untuk diterapkannya. "Apa ada mobil yang 1.500 cc? Nggak ada. Yang ada 1.490 cc. Nanti ribut di lapangan," cetus Jero.
Masalah dari pengendalian lainnya adalah ketersediaan BBM non-subsidi, seperti Pertamax, yang menurut Himpunan Wiraswasta Nasional (Hiswana) Minyak dan Gas sering terlambat. Ketua Umum Hiswana Migas Eri Purnomo Hadi pernah menyebutkan suplai BBM nonsubsidi, seperti Pertamax, selama ini sering terlambat. "Pertamina itu sering terlambat mengirim Pertamax," ujar Eri .
Ia menyebutkan, alasan keterlambatan pengiriman adalah jumlah depo yang mempunyai Pertamax sedikit dan jarak depo yang jauh ke stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Jauhnya lokasi depo dengan SPBU menyebabkan waktu pengiriman menjadi lebih lama."Tidak semua depo ada Pertamax," ucap dia.
Tapi, katanya, pihak pengusaha SPBU sendiri dari sisi infrastruktur sudah siap jika pembatasan diberlakukan, khususnya bagi mereka yang berada di wilayah Jabodetabek. Ia mengatakan, sekitar 90 persen SPBU di Jabodetabek telah mempunyai tangki dan dispenser BBM non-subsidi, seperti Pertamax.
Sementara dari sisi pengguna, harga BBM non-subsidi yang lebih dari dua kali lipat dari harga BBM bersubsidi, terasa memberatkan. Per 1 Mei, harga Pertamax, yang merupakan BBM non-subsidi termurah, dijual Rp 9.850 per liter untuk wilayah DKI Jakarta. Harga itu bisa lebih mahal di daerah lainnya di Indonesia. Sementara harga BBM bersubsidi hanya Rp 4.500 per liter.
Bagaimana baiknya?
Satya pernah mengusulkan agar Pemerintah membatasi konsumsi BBM bersubsidi per kendaraan per hari untuk mobil pribadi. Cara membatasi berdasarkan kapasitas mesin ataupun tahun kendaraan belum cukup karena bisa saja konsumen atau masyarakat memperbesar tangki mobilnya. Mekanisme terbaik menurut Satya adalah dengan kartu pengendali. Ia lebih setuju bila pengendalian konsumsi BBM bersubsidi dilakukan dengan kartu pengendali ketimbang stiker. "Ini bisa menjamin sistem pengendalian volume konsumsi BBM bersubsidi per kendaraan per hari dari mobil yang berhak," sebut Satya.
Lalu Pri Agung menuturkan, pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dengan kapasitas mesin (cc) dan tahun kendaraan itu sudah baik. Tinggal kedua ukuran batasan tersebut diwujudkan dalam bentuk pelat mobil berwarna tertentu. Pelat ini, terang Pri, tidak mudah dipalsukan seperti halnya stiker. Untuk pelat, masyarakat yang masih boleh mengonsumsi BBM bersubsidi tinggal mengurus ke kepolisian. "Masyarakat ada inisiatif untuk mengurus itu," sambungnya.
Sembari itu, lanjut Pri Agung, pemerintah dan pihak terkaitn juga bisa memisahkan jalur pengisian BBM di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Jalur dipisahkan antara BBM subsidi dan non-subsidi. "Jadi masyarakat yang tetap menggunakan BBM bersubsidi harus mendapatkan pelat nomor mobil yang dibedakan, misalnya warna biru. Kalau stiker terlalu mudah dipalsukan ketimbang pelat mobil," terang Pri.
Hari ini, (2/5/2012) pukul 14.00 WIB, Pemerintah dijadwalkan akan melakukan pembahasan kembali di Istana Negara. Nah, bagaimana keputusannya?