Senin, 30 April 2012

Broker Makin Berkilau
ILUSTRASI
MEDIA INFORMASI — Tiga wanita itu turun dari tiga mobil mewah dengan raut cerah. Mereka perlahan-lahan masuk ke sebuah hotel bintang lima di kawasan segitiga emas Jakarta, pekan lalu. Di lobi, 12 orang menghampiri dan mereka segera terlibat percakapan serius. Tiga menit kemudian, mereka terlihat bersalam-salaman dan 12 orang itu pamit.
Di coffee shop, ketiga wanita itu berembuk, saling mencocokkan data selama 10 menit. Sejurus kemudian, mereka terlibat dalam rapat membahas rencana kerja. Hanya sesekali terdengar canda segar, selebihnya berdiskusi dalam rentang waktu ketat. ”Sebagai broker properti, kami amat cermat bekerja,” tutur Sri Utami, salah seorang wanita itu. ”Kami sama-sama sibuk, maka menggunakan waktu sangat efisien.”
Sri dan dua temannya, Fajriah dan Melania, sangat menyadari bahwa sebagai broker profesional, mereka harus memiliki keunggulan-keunggulan komparatif dibandingkan dengan broker lain. Mereka memiliki basis data yang komplet, terutama di Pulau Jawa. Hendak bertanya sampai ke proyek dengan skala 5 hektar ke atas, mereka miliki. Mereka pun mengantongi data menyangkut luasan rumah, harga, dan cara praktis membeli atau menjual rumah atau apartemen. Data yang mereka tawarkan kerap dalam tiga bahasa, yakni bahasa Indonesia, Inggris, dan Mandarin. Inilah salah satu sebab mereka menjadi tempat bertanya para pengembang, eksekutif properti, dan para pencari rumah/apartemen.
Para broker seperti Sri dan kawan-kawan ini pula yang mempunyai kontribusi larisnya sebuah perumahan dan apartemen. Kalau ada apartemen atau perumahan bisa tandas dalam sehari sampai sepekan lamanya, tentu ada kontribusi para broker, sekecil apa pun itu. Bukan rahasia lagi kalau para staf pengembang memandang mereka sebagai salah satu faktor suksesnya penjualan rumah/apartemen. Para staf pengembang tersebut memang mempunyai banyak staf dan jaringan luas untuk merengkuh para pembeli. Akan tetapi, pasukan ”penjual dan pemasaran” itu tentu tidak cukup memadai untuk menjangkau semua lapisan pembeli. Para broker tetap dibutuhkan untuk menjaring pembeli.
Ray Susilo, eksekutif properti di Jakarta, mengatakan, jangan remehkan pendapatan para broker properti ini. Jika memiliki jaringan sangat luas dan berbakat memasarkan properti, seorang broker mampu meraih penghasilan bersih Rp 100 juta per bulan. Sesekali ada broker yang kariernya sedang berkilau bisa mendapat Rp 1,5 miliar per bulan dalam kurun waktu setengah tahun. Ini sebabnya, para broker yang ahli ”bertarung di lapangan” mampu membeli mobil mewah keluaran Jerman dan Inggris.
Pekerjaan menjadi broker properti dalam era booming properti seperti sekarang merupakan pekerjaan menjanjikan. Namun, sayang, tidak banyak yang melihat ini sebagai peluang. Padahal, kalau dikembangkan sedemikian rupa, pendapatan mereka bisa jauh di atas gaji bersih seorang direktur utama perusahaan badan usaha milik negara. Syaratnya pun tidak banyak, jaringan yang sangat luas, sangat luwes, memiliki kapasitas pemasaran dan penjualan, memiliki integritas tinggi, mempunyai etika yang terpuji, berbahasa Inggris fasih, dan sebagainya.
Di luar pekerjaan broker, masih banyak jenis pekerjaan yang memberi perolehan amat besar, tetapi belum terlampau populer, yakni pekerjaan di bidang asuransi. Mengapa? Karena pekerjaan ini (dalam bahasa guyonan) dipandang ”menjual angin”. Namun, tak banyak yang tahu, banyak yang kaya raya karena bekerja di perusahaan asuransi. Pekerjaan lain yang kini sangat menjanjikan adalah menjadi ahli teknologi informasi.
Di Singapura, sekadar menyebut contoh, seorang ahli teknologi informasi mampu meraih pendapatan bersih Rp 80 juta sampai Rp 1,5 miliar per bulan. Kita suka terjebak dalam pemikiran bahwa pekerjaan yang mapan itu adalah bekerja di kantor, masuk jam sekian, dan pulang jam sekian. Padahal, di luar kantor ada banyak pekerjaan prestisius.

Kamis, 26 April 2012

Jangan Cuma Menuding Rakyat Boros BBM
ILUSTRASI
ANALISIS — Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah nasib malang rakyat Indonesia. Atas nama buruknya infrastruktur dan transportasi, mereka terpaksa membeli bahkan berutang untuk memiliki kendaraan pribadi. Kini, mereka dipaksa pula membeli bahan bakar minyak dengan harga lebih mahal seiring dengan rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi.
Sungguh, hidup di negeri ini seolah tanpa pilihan. Jika boleh memilih, tentu saja sebagian warga, seperti penduduk Tokyo, Jepang, memilih tidak membeli mobil pribadi. Jauh lebih baik hilir mudik naik kereta bawah tanah dan uang yang dihemat dapat untuk pesiar keliling dunia.
Jika boleh memilih, tentu enggan membeli mobil seharga 20-50 persen lebih tinggi daripada harga mobil di negara tetangga. Membayar asuransi mobil hampir Rp 10 juta tiap tahun. Mondar-mandir ke bengkel hanya untuk mengantre perawatan berjam-jam tiap 5.000 kilometer.
Kenapa rakyat Indonesia tetap getol membeli mobil? Tidak terhindari ada unsur prestise, tetapi sekali lagi, karena terbatasnya pilihan.
Tentu saja tidak ada dosanya membeli mobil pribadi. Terlebih ada industri dan ekonomi yang terus tumbuh dengan naiknya penjualan. Namun, pemerintah seharusnya menganalisis mengapa mobil pribadi bergerak tiap hari, tak sekadar pada akhir pekan seperti di negeri lain.
Tidak ada transportasi yang tepat waktu kala dibutuhkan. Pemerintah juga gagal menyediakan transportasi massal yang nyaman dengan tarif yang rasional. "Dengan demikian, rakyat jangan dituduh memboroskan BBM bersubsidi," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Bambang Harjo.
Berulang kali pemerintah menyodorkan angka lonjakan volume penjualan BBM bersubsidi, seolah-olah kita menghadapi akhir zaman. Namun, di lain sisi, tidak ada penjelasan apalagi upaya memecahkan persoalan mengapa konsumsi melonjak. Tidak diurai mengapa kendaraan pribadi justru menjadi tulang punggung mobilitas di negeri ini.
Akademisi, pengamat, bahkan mantan Menteri Perhubungan Giri Suseno Hadihardjono menyerukan pentingnya membahas sisi permintaan bukan hanya pasokan BBM bersubsidi. Atau ringkasnya, jangan sekadar meributkan harga dan volume BBM subsidi. Akan tetapi, seruan itu bak suara orang yang berteriak-teriak di padang gurun. Hilang, tak berbekas.
Ketika tertimpa tangga, apa yang dapat dilakukan rakyat? Pasti menerima dan menyesuaikan diri. Kita bukan penguasa. Terlebih jika nantinya ditetapkan sanksi bagi mobil pribadi dengan kapasitas mesin 1.500 cc ke atas yang terbukti membeli BBM bersubsidi.
Namun, kita mengingatkan dan mengetuk nurani pemerintah untuk mempertimbangkan pengorbanan rakyat. Mempertimbangkan perjuangan rakyat, yang selama ini mencari solusi sendiri-sendiri dan berjibaku tiap hari di jalan raya menembus kemacetan.
Ketika kita dengan terpaksa menerima BBM dengan harga tinggi, tolong dicarikan dengan tempo sesingkat-singkatnya alternatif transportasi massal. Bukan transportasi massal yang sekadar diada-adakan, melainkan yang andal, murah, dan nyaman sehingga menarik perpindahan dari kendaraan pribadi ke transportasi massal.

Senin, 23 April 2012

Membaca Selera Konsumen
 
ANALISIS - Huang Ishien (57), seorang usahawan di Hongkong, selalu membawa sejumlah buah tangan saat pulang ke Indonesia. Buah tangan itu tidak pernah bergeser dari obat oles Tiger Balm, obat sakit perut, obat batuk Kim To Ninjiom Pei Pa Koa (obat batuk ibu dan anak), serta obat kulit Bao Fu Lin.
Sejumlah produk Hongkong ini sebenarnya tersedia di pelbagai kota di Indonesia. Namun, tetap saja Huang membawa buah tangan itu karena sahabat-sahabatnya menyukainya.
Hal yang lebih kurang sama terjadi di Indonesia. Pulang dari Yogyakarta, yang dibawa umumnya gudeg, bakpia patok, atau masakan dari beberapa restoran tua terkenal. Kembali dari Solo, banyak yang ”nekat” bawa timlo, soto gading, intip, kain batik, dan sebagainya.
Dari Makassar, yang dibawa kepiting dari restoran-restoran tua terkenal, bubur ayam Ang Ping Lao, coto makassar, sop konro, atau minyak gosok cap Tawon.
Dari Balikpapan, yang dibawa selalu kepiting jumbo. Dari Semarang, yang dibawa lumpia (basah dan goreng), soto bangkong, bandeng presto, dan sebagainya.
Menariknya, para pemburu produk atau makanan spesifik ini rela antre saat panas matahari, bersedia menenteng buah tangan itu masuk ke kabin pesawat.
Selintas hal ini sepele, tetapi sebenarnya bisa menjadi contoh bisnis yang mengasyikkan. Produsen produk-produk tersebut jarang beriklan. Malah, hampir tidak pernah beriklan di media cetak.
Para produsen itu mengandalkan metode dari mulut ke mulut. Dari satu cerita ke cerita lainnya. Namun, efektivitasnya dahsyat. Warga dari provinsi dan negara mana saja mau membeli.
Di sejumlah kota dunia banyak produk Indonesia mudah ditemukan di toko serba ada. Di antaranya adalah minyak gosok cap Tawon, aneka jenis biskuit, kacang-kacangan, permen, polo shirt, dan kaus oblong.
Kunci kesuksesan menerobos pasar dunia ini adalah mutu yang terjaga dan kemampuan produsen memuaskan semua pembelinya.
Namun, banyak juga produsen yang usahanya hampir seratus tahun, tetapi akhirnya terempas. Sebagian lagi letih bersaing. Misalnya, membuka warung bakso malang yang rasanya enak dan sangat laris.
Pedagang lain juga ramai-ramai membuka warung bakso malang. Akhirnya, semua lalu mengumumkan bahwa merekalah penemu resep bakso malang, Pembeli lalu bingung mana sebetulnya yang asli.
Atau soto yang mengandalkan label Pak Kumis. Banyak yang mengaku Pak Kumis, tetapi mana soto Pak Kumis yang asli? Mana yang latah? Atau pedagang ayam goreng yang terpecah. Akhirnya reputasinya meredup.
Dalam konteks dunia usaha modern, banyak usahawan sukses karena pandai membaca selera konsumen. Seperti betapa larisnya gerai yang menjual kaus, kemeja, topi, sweater, dan pernak-pernik Hard Rock Café.
Praktis, bintang iklan yang paling efektif ialah konsumen yang puas dengan produk atau pelayanan yang diperoleh. Dan, konsumen yang merekomendasikan produk atau pelayanan ini kepada orang lain. Atau, lihatlah Dave Thomas dari fastfood Wendy’s. Iklannya tanpa bintang-bintang masyhur, tetapi langsung menyentuh hati konsumen. Laris manis.